Minggu, 25 September 2011

tugas analisis jurnal Tema : Kenakalan Remaja

ANALISIS JURNAL
“ TEMA KENAKALAN REMAJA “

ANALISIS JURNAL 1 : KENAKALAN REMAJA ATAU ORANG TUA PENGARANG : Dra.Rustinah,TAHUN 2008
LATAR BELAKANG
Akhir-akhir ini fenomena kenakalan remaja makin meluas. Bahkan hal ini sudah terjadi sejak dulu. Para pakar psikolog selalu mengupas masalah yang tak pernah habis-habisnya ini. Kenakalan Remaja, seperti sebuah lingkaran hitam yang tak pernah putus. Sambung menyambung dari waktu ke waktu, dari masa ke masa, dari tahun ke tahun dan bahkan dari hari ke hari semakin rumit. Masalah kenalan remaja merupakan masalah yang kompleks terjadi di berbagai kota di Indonesia. Sejalan dengan arus modernisasi dan teknologi yang semakin berkembang, maka arus hubungan antar kota-kota besar dan daerah semkain lancar, cepat dan mudah. Dunia teknologi yang semakin canggih, disamping memudahkan dalam mengetahui berbagai informasi di berbagai media, disisi lain juga membawa suatu dampak negatif yang cukup meluas diberbagai lapisan masyarakat.

MASALAH
Kenakalan remaja biasanya dilakukan oleh remaja-remaja yang gagal dalam menjalani proses-proses perkembangan jiwanya, baik pada saat remaja maupun pada masa kanak-kanaknya. Masa kanak-kanak dan masa remaja berlangsung begitu singkat, dengan perkembangan fisik, psikis, dan emosi yang begitu cepat. Secara psikologis, kenakalan remaja merupakan wujud dari konflik-konflik yang tidak terselesaikan dengan baik pada masa kanak-kanak maupun remaja para pelakunya. Seringkali didapati bahwa ada trauma dalam masa lalunya, perlakuan kasar dan tidak menyenangkan dari lingkungannya, maupun trauma terhadap kondisi lingkungannya, seperti kondisi ekonomi yang membuatnya merasa rendah diri.


TUJUAN PENELITIAN
Mengatasi kenakalan remaja, berarti menata kembali emosi remaja yang tercabik-cabik itu. Emosi dan perasaan mereka rusak karena merasa ditolak oleh keluarga, orang tua, teman-teman, maupun lingkungannya sejak kecil, dan gagalnya proses perkembangan jiwa remaja tersebut. Trauma-trauma dalam hidupnya harus diselesaikan, konflik-konflik psikologis yang menggantung harus diselesaikan, dan mereka harus diberi lingkungan yang berbeda dari lingkungan sebelumnya. Pertanyaannya : tugas siapa itu semua ? Orang tua-kah ? Sedangkan orang tua sudah terlalu pusing memikirkan masalah pekerjaan dan beban hidup lainnya. Saudaranya-kah ? Mereka juga punya masalah sendiri, bahkan mungkin mereka juga memiliki masalah yang sama. Pemerintah-kah ? Atau siapa ? Tidak gampang untuk menjawabnya. Tetapi, memberikan lingkungan yang baik sejak dini, disertai pemahaman akan perkembangan anak-anak kita dengan baik, akan banyak membantu mengurangi kenakalan remaja. Minimal tidak menambah jumlah kasus yang ada." (sumber Whandi.net/1 jan 1970).

Kenakalan remaja, merupakan salah si anak? atau orang tua? Karena ternyata banyak orang tua yang tidak dapat berperan sebagai orang tua yang seharusnya. Mereka hanya menyediakan materi dan sarana serta fasilitas bagi si anak tanpa memikirkan kebutuhan batinnya. Orang tua juga sering menuntut banyak hal tetapi lupa untuk memberikan contoh yang baik bagi si anak. Sebenarnya kita melupakan sesuatu ketika berbicara masalah kenakalan remaja, yaitu hukum kausalitas. Sebab, dari kenakalan seorang remaja selalu dikristalkan menuju faktor eksternal lingkungan yang jarang memerhatikan faktor terdekat dari lingkungan remaja tersebut dalam hal ini orangtua. Kita selalu menilai bahwa banyak kasus kenakalan remaja terjadi karena lingkungan pergaulan yang kurang baik, seperti pengaruh teman yang tidak benar, pengaruh media massa, sampai pada lemahnya iman seseorang.

Ketika kita berbicara mengenai iman, kita mempersoalkan nilai dan biasanya melupakan sesuatu, yaitu pengaruh orangtua. Didikan orangtua yang salah bisa saja menjadi faktor sosiopsikologis utama dari timbulnya kenakalan pada diri seorang remaja. Apalagi jika kasus negatif menyerang orangtua si remaja, seperti perselingkuhan, perceraian, dan pembagian harta gono-gini. Mungkin kita perlu mengambil istilah baru, kenakalan orangtua.


SUMBER: WWW.GOOGLE.COM
ANALISIS JURNAL 2: GAYA PENGASUHAN ORANG TUA DALAM PERKEMBANGAN ANAK
PENGARANG: Syuul t. Karamoy,TAHUN 2008

LATAR BELAKANG

”Gaya Pengasuhan Orang Tua Dalam Perkembangan Anak” adalah dimulai dari kajian secara mendalam mengenau kehidupan sehari-hari yang menghadirkan disparitas fenomena yang menyiratkan banyak permasalahan yang terjadi dalam lingkup yang sangat kompleks. Fenomena – fenomena yang terjadi terkait perubahan masalah kehidupan dalam era globalisasi yang dikaitkan dengan upaya orang tua terhadap anak agar mereka memiliki kemampuan untuk mengantisipasi, mengakomodasi yakni dengan melatih dan mengembangkan emosi. Upaya ini menunjukkan perlu adanya peranan dan tanggung jawab orang tua yang berkewajiban meletakkan dasar-dasar emosional anak.
Menurut Dany (2004) dalam materi perkuliahan psikologi lintas budaya, bahwa kecerdasan emosional meliputi kemampuan untuk memahami dan mengelola emosi diri sendiri disamping kemampuan mengenali emosi orang lain dan membina hubungan dengan orang lain sangat dipengaruhi oleh buadaya setempat. Gaya pengasuhan orang tua sangat mempengaruhi kecerdasan emosional anak. Maka dari itu, penulis membahas secara mendalam mengenai gaya pengasuhan anak meliputi konsep-konsep serta bentuk-bentuk gaya pengasuhan orang tua dan peranannya dalam mengembangkan kecerdasan emosianal anak.
Rumusan masalah :
Ø Apa peran keluarga dalam perkembangan kecerdasan emosional anak?
Ø Bagaimana bentuk-bentuk gaya pengasuhan orang tua dan pengaruhnya terhadap perkembangan kecerdasan emosional anak?
Tujuan penulisan :
Ø Untuk memperoleh gambaran yang jelas dan rinci tentang peran keluarga dalam perkembangan emosional anak.
Ø Untuk memperoleh gambaran yang jelas dan rinci tentang bentuk-bentuk gaya pengasuhan orang tua dan pengaruhnya terhadap perkembangan kecerdasan sosial emosional anak.

dilakukan analisis peran keluarga dan bentuk-bentuk gaya pengasuhan orang tua, di mana peneliti memfokuskan pada pengaruh sub-bagian yang dikaji dari aspek-aspek orang tua dalam melakukan pengasuhan terhadap perkembangan kecerdasan emosional anak. Aspek-aspek tersebut meliputi : konsep-konsep gaya pengasuhan orangtua (peran keluarga) , bentuk-bentuk gaya pengasuhan orangtua dan pengaruhnya terhadap perkembangan kecerdasan emosional anak dan sub-bagian jenis pemikiran yang terdapat dalam aspek gaya pengasuhan orang tua dalam mengembangkan kecerdasan emosional anak.

Peranan Orang Tua dalam keluarga
Secara tradisional, keluarga diartikan sebagai dua atau lebih orang yang dihubungkan dengan pertalian darah, perkawinan atau adopsi (hukum) yang memiliki tempat tinggal bersama. Morgan dalam Sitorus (1988;45) menyatakan bahwa keluarga merupakan suatu grup sosial primer yang didasarkan pada ikatan perkawinan (hubungan suami-istri) dan ikatan kekerabatan (hubungan antar generasi, orang tua – anak) sekaligus. Namun secara dinamis individu yang membentuk sebuah keluarga dapat digambarkan sebagai anggota dari grup masyarakat yang paling dasar yang tinggal bersama dan berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan individu maupun antar individu mereka.

Bila ditinjau berdasarkan Undang-undang no.10 tahun 1972, keluarga terdiri atas ayah, ibu dan anak karena ikatan darah maupun hukum. Hal ini sejalan dengan pemahaman keluarga di negara barat, keluarga mengacu pada sekelompok individu yang berhubungan darah dan adopsi yang diturunkan dari nenek moyang yang sama. Keluarga dalam hubungannya dengan anak diidentikan sebagai tempat atau lembaga pengasuhan yang paling dapat memberi kasih sayang, kegiatan menyusui, efektif dan ekonomis.

Di dalam keluargalah kali pertama anak-anak mendapat pengalaman dini langsung yang akan digunakan sebagai bekal hidupnya dikemudian hari melalui latihan fisik, sosial, mental, emosional dan spritual. Karena anak ketika baru lahir tidak memiliki tata cara dan kebiasaan (budaya) yang begitu saja terjadi sendiri secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi lain, oleh karena itu harus dikondisikan ke dalam suatu hubungan kebergantungan antara anak dengan agen lain (orang tua dan anggota keluarga lain) dan lingkungan yang mendukungnya baik dalam keluarga atau lingkungan yang lebih luas (masyarakat), selain faktor genetik berperan pula (Zanden, 1986;78).

Bahkan seperti juga yang dikatakan oleh Malinowski (1930;23) dalam Megawangi (1998;34) tentang “principle of legitimacy” sebagai basis keluarga, bahwa struktur sosial (masyarakat) harus diinternalisasikan sejak individu dilahirkan agar seorang anak mengetahui dan memahami posisi dan kedudukannya, dengan harapan agar mampu menyesuaikannya dalam masyarakat kelak setelah ia dewasa. Dengan kata lain, keluarga merupakan sumber agen terpenting yang berfungsi meneruskan budaya melalui proses sosialisasi antara individu dengan lingkungan. Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa peran orang tua adalah fungsi yang dimainkan oleh orang tua yang berada pada posisiatau situasi tertentu dengan karakteristik atau kekhasan tertentu pula.
perkembangan anak, maka dalam melakukan tugas-tugas perkembangannya, individu banyak dipengaruhi oleh peranan orang tua tersebut. Peranan orang tua memberikan lingkungan dimana lingkungan tersebut yang memungkinkan anak dapat menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya.


• Penelitian mengenai perbandingan gaya pengasuhan demokratis dan otoriter sebagai penguat analisis penyusun terhadap pemecahan rumusan Lewin, Lippit, dan White (dalam Gerungan, 1987: 57) mendapatkan keterangan bahwa kelompok anak laki-laki yang diberi tugas tertentu di bawah asuhan seorang pengasuh yang berpola demokratis tampak bahwa tingkah laku agresif yang timbul adalah dalam taraf sedang. Kalau pengasuh kelompok itu adalah seorang yang otoriter maka perilaku agresif mereka menjadi tinggi atau justru menjadi rendah.

Hasil yang ditemukan oleh Lewin dkk tersebut diteruskan oleh Meuler (Gerungan, 1987: 84) dalam penelitiannya dengan menemukan hasil bahwa anak-anak yang diasuh oleh orang tua yang otoriter banyak menunjukkan ciri-ciri adanya sikap menunggu dan menyerah segala-galanya pada pengasuhnya. Watson (1967: 109), menemukan bahwa di samping sikap menunggu itu terdapat juga ciri-ciri keagresifan, kecemasan dan mudah putus asa. Baldin (dalam Gerungan, 1987: 91) menemukan dalam penelitiannya dengan membandingkan keluarga yang berpola demokratis dengan yang otoriter dalam mengasuh anaknya, bahwa asuhan dari orang tua demokratis menimbulkan ciri-ciri berinisiatif, berani, lebih giat, dan lebih bertujuan. Sebaliknya, semakin otoriter orang tuanya makin berkurang ketidaktaatan anak, bersikap menunggu, tak dapat merencanakan sesuatu, daya tahan kurang, dan menunjukkan ciri-ciri takut.

gaya pengasuhan yang memiliki peran dalam perkembangan anak, di mana dalam aspek perkembangan di ambil berdasarkan kemampuan anak dalam bidang sosial masyarakat terkait konteks kecerdasan dengan spesifikasi perkembangan kecerdasan emosional. Dikarenakan kurangnya teori yang mengenai bahasan tentang kecerdasan emosional itu sendiri, maka penyusun melakukan pendalaman materi dalam hal terebut yang diuraikan secara mendetail sehingga unsur-unsur yang belum munncul ke permukaan dapat nampak dan memperluas pengetahuan serta aspek-aspek lain terkait tujuan penulis.

Analisis yang lebih tajam diperlukan pada segi penyebab atau faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi itu sendiri. Goleman (1997) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi individu yaitu: (a) Lingkungan keluarga. Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama dalam mempelajari emosi. Kecerdasan emosi dapat diajarkan pada saat masih bayi melalui ekspresi. Peristiwa emosional yang terjadi pada masa anak-anak akan melekat dan menetap secara permanen hingga dewasa. Kehidupan emosional yang dipupuk dalam keluarga sangat berguna bagi anak kelak dikemudian hari. (b) Lingkungan non keluarga. Hal ini yang terkait adalah lingkungan masyarakat dan pendidikan. Kecerdasan emosi ini berkembang sejalan dengan perkembangan fisik dan mental anak. Pembelajaran ini biasanya ditujukan dalam suatu aktivitas bermain peran sebagai seseorang diluar dirinya dengan emosi yang menyertai keadaan orang lain (Goleman, 1997). Penjelasan inilah yang dirasakan kurang dilakukan pembahasan mendalam oleh penulis, sehingga penyusun akan memaparkan lebih lanjut mengenai aspek tersebut.

• Pendalaman Teori dan Penelitian Terdahulu
Teori mendalam mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional dan dikaitkan dengan konsep gaya pengasuhan (pola asuh) dijelaskan oleh penyusun dijelaskan dengan teknik deskripsi sebagai berikut : Menurut Le Dove (dalam Goleman, 1997) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi antara lain:
(a) Fisik. Secara fisik bagian yang paling menentukan atau paling berpengaruh terhadap kecerdasan emosi seseorang adalah anatomi saraf emosinya. Bagian otak yang digunakan untuk berfikir yaitu konteks (kadang kadang disebut juga neo konteks). Sebagai bagian yang berada dibagian otak yang mengurusi emosi yaitusystem limbic, tetapi sesungguhnya antara kedua bagian inilah yang menentukan kecerdasan emosi seseorang. (1) Konteks. Bagian ini berupa bagian berlipat-lipat kira kira 3 milimeter yang membungkus hemisfer serebral dalam otak. Konteks berperan penting dalam memahami sesuatu secara mendalam, menganalisis mengapa mengalami perasaan tertentu dan selanjutnya berbuat sesuatu untuk mengatasinya. Konteks khusus lobus prefrontal, dapat bertindak sebagai saklar peredam yang memberi arti terhadap situasi emosi sebelum berbuat sesuatu. (2)System limbic. Bagian ini sering disebut sebagai emosi otak yang letaknya jauh didalam hemisfer otak besar dan terutama bertanggung jawab atas pengaturan emosi dan implus. Sistem limbic meliputi hippocampus, tempat berlangsungnya proses pembelajaran emosi dan tempat disimpannya emosi. Selain itu ada amygdala yang dipandang sebagai pusat pengendalian emosi pada otak.
(b) Psikis. Kecerdasan emosi selain dipengaruhi oleh kepribadian individu, juga dapat dipupuk dan diperkuat dalam diri individu. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosi seseorang yaitu secara fisik dan psikis. Secara fisik terletak dibagian otak yaitu konteks dan sistem limbic, secara psikis meliputi lingkungan keluarga dan lingkungan non keluarga. Menurut Dinkmeyer (1965) faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi anak adalah faktor kondisi fisik dan kesehatan, tingkat intelegensi, lingkungan sosial, dan keluarga. Anak yang memiliki kesehatan yang kurang baik dan sering lelah cenderung menunjukkan reaksi emosional yang berlebihan. Anak yang dibesarkan dalam keluarga yang menerapkan disiplin yang berlebihan cenderung lebih emosional. Pola asuh orangtua berpengaruh terhadap kecerdasan emosi anak dimana anak yang dimanja, diabaikan atau dikontrol dengan ketat (overprotective) dalam keluarga cenderung menunjukkan reaksi emosional yang negatif (Dinkmeyer, 1965).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi. Dalam penelitian ini faktor yang akan diteliti adalah pola asuh orangtua yang berkaitan dengan emotion coaching yang dilakukan oleh orangtua kepada anaknya sebab emotion coaching yang diberikan oleh orangtua sejak dini berpengaruh terhadap perkembangan emosi anak pada tahapan selanjutnya. Pendapat ini didukung oleh hasil penelitian yang dikemukakan oleh Collins dan Kuczaj (1991) bahwa parenting style (pola asuh orangtua) memiliki pengaruh yang kuat terhadap perkembangan anak.

Di bawah ini merupakan uraian penyusun mengenai 5 langkah emotion coping yang berguna untuk meningkatkan kecerdasan emosional anak secara mendalam dan spesifik :
(1) Menyadari emosi diri sendiri dan anak (Awareness). Agar orangtua dapat merasakan apa yang dirasakan oleh anak-anak mereka maka terlebih dahulu orangtua harus dapat menyadari emosi dalam diri mereka sendiri dan kemudian menyadari emosi dalam diri anak-anak mereka. Orangtua yang menyadari emosi-emosi mereka sendiri dapat menggunakan kepekaan mereka untuk menyelaraskan diri dengan perasaan-perasaan anak mereka. Anak-anak sering mengungkapkan emosi mereka secara tidak langsung dan melalui cara-cara yang membingungkan orang dewasa namun jika orangtua dapat mendengarkan dengan seksama maka orangtua akan dapat memahami apa yang dirasakan oleh anak-anak.

(2) Menerima emosi anak sebagai peluang untuk lebih dekat dengan mereka dan mengajarkan kepada mereka bagaimana cara mengatasinya (Acceptance).Beberapa orangtua mencoba untuk mengabaikan perasaan-perasaan negatif anaknya dengan harapan agar perasaan-perasaan negatif itu akan hilang tetapi cara seperti ini tidak dapat meredakan perasaan-perasaan negatif anak dan sebaliknya perasaan-perasaan negatif itu akan lenyap apabila anak diberi kesempatan untuk membicarakan emosi yang dirasakannya sebab dengan demikian anak akan merasa dimengerti oleh orangtuanya. Ketika anak merasa dimengerti oleh orangtuanya maka anak akan merasa lebih dekat dengan orangtuanya dan akan lebih bersikap positif terhadap cara yang dikemukakan oleh orangtuanya untuk mengatasi emosinya.

(3) Mendengarkan dengan empati dan pengertian (Empathy). Agar orangtua dapat merasakan apa yang dirasakan oleh anaknya maka orangtua harus dapat menempatkan dirinya dalam kedudukan anaknya. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan empatic listening. Empatic listening merupakan proses yang paling penting dalam emotion coaching. Ketika anak mengungkapkan apa yang dirasakannya, orangtua hendaknya mendengarkan dengan empati dan penuh perhatian. Orangtua dapat mengungkapkan kembali apa yang telah diungkapkan anaknya untuk meyakinkan anak bahwa orangtua mendengarkannya dengan penuh perhatian dan mengerti akan apa yang dirasakannya.

(4) Membantu anak memberi label pada emosi yang sedang dirasakannya dengan kata-kata (Labeling). Salah satu langkah dalam emotion coaching adalah membantu anak menemukan kata-kata yang tepat untuk melukiskan apa yang sedang mereka rasakan. Misalnya orangtua memberitahu anaknya bahwa apa yang sedang dirasakan anaknya dapat disebut dengan perasaan “tegang”, “cemas”, “sakit hati”, “marah”, “sedih” atau “takut”. Hal ini dapat membantu anak menyusun kosakata yang dapat mereka gunakan untuk mengungkapkan emosi mereka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindakan memberi label pada emosi yang sedang dirasakan anak dapat membantu menenangkan sistem saraf anak sehingga anak akan lebih cepat pulih dari perasaan tidak menyenangkan yang dirasakannya. Menurut Gottman hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Ketika berbicara mengenai emosi yang sedang dirasakan, aktivitas ini akan mengaktifkan belahan otak kiri yang merupakan pusat bahasa dan penalaran sehingga anak akan memfokuskan perhatiannya pada kosakata yang akan digunakannya sehingga anak tidak lagi terlalu fokus pada perasaan tidak menyenangkan yang sedang dialaminya.

(5) Menentukan batas-batas perilaku yang boleh dilakukan anak ketika membantu anak menyelesaikan masalahnya (Problem-Solving). Gottman dan DeClaire (1997) mengemukakan beberapa tahapan dalam langkah problem-solving yaitu (a) Menentukan batas-batas perilaku yang boleh dilakukan. Orangtua boleh menerima perasaan negatif yang dirasakan oleh anaknya namun ketika anaknya mengungkapkan perasaaan negatif dengan berperilaku yang tidak sesuai seperti memukul temannya, mengejek atau merusak mainan temannya maka orangtua harus membimbing anaknya mengenai batasan perilaku yang boleh dan yang tidak
Ada lima langkah dalam emotion coaching yang umumnya dilakukan orangtua yaitu (1) Menyadari emosi diri sendiri dan anak (Awareness), (2) Menerima emosi anak sebagai peluang untuk lebih dekat dengan mereka dan mengajarkan kepada mereka bagaimana mengatasinya (Acceptance), (3) Mendengarkan dengan empati dan pengertian (Empathy), (4) Membantu anak memberi label pada emosi yang sedang dirasakannya dengan kata-kata (Labeling), dan (5) Menentukan batas-batas perilaku yang boleh dilakukan anak ketika membantu anak menyelesaikan masalahnya (Problem-Solving)

KESIMPULAN

gaya pengasuhan orang tua yang merupakan faktor terpenting dalam mempengaruhi tingkat kecerdasan emosional anak. Bentuk gaya pengasuhan orang tua yang mempengaruhi kecerdasan emosional anak dan kepribadian secara umum, adalah melalui gaya pengasuhan yang demokratis dan orang tua yang tergolong pelatih emosi yang memungkinkan menghasilkan anak-anak yang percaya diri, mandiri, imajinatif, mudah beradaptasi dan disukai banyak orang. Di mana anak-anak yang mendapatkan gaya pengasuhan yang demokratis dan menekankan pelatihan emosi umumnya cenderung memperoleh nilai akademik yang lebih tinggi, bergaul lebih baik dengan teman-temannya, tidak banyak mengalami masalah perilaku dan tidak gampang melakukan tindakan kekerasan. Orang tua yang terampil secara emosional, dapat membantu anak dnegan memberi dasar keterampilan emosional.


SUMBER: WWW.GOOGLE.COM


ANALISIS JURNAL 3 : EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL ANAK
PENGARANG : SONY SURYA PRAYOGA,TAHUN 2009

LATAR BELAKANG
Pembangunan nasional merupakan pembangunan manusia Indonesia seluruhnya dan seutuhnya, sehingga dalam pembangunan tersebut harus mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia termasuk membangun generasi muda yang telah menjadi bagian yang urgent dalam proses pembangunan nasional. Generasi muda memiliki posisi ganda dalam proses pembangunan nasional, yaitu sebagai subyek dalam arti generasi muda merupakan pelaku dan pelaksana pembangunan nasional yang harus membangun dirinya sendiri serta bersama-sama membangun bangsa, juga sebagai objek pembangunan nasional yang berarti menjadi penerus sejarah dan cita-cita perjuangan bangsa Indonesia. Dari hal tersebut diatas, pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia seluruhnya dan seutuhnya. Guna mensukseskan dan mencapai tujuan tersebut tidaklah mudah sebagaimana yang diharapkan, hal ini terbukti dengan sebagian anggota masyarakat yang tidak mengindahkan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, serta banyaknya perilaku menyimpang yang terjadi dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Perbuatan atau perilaku menyimpang adalah tingkah laku yang tidak wajar dilakukan dan dinilai asusila oleh masyarakat tertentu.Masalah-masalah sosial pada zaman modern yang dianggap sebagai sosiopatik atau sakit secara sosial, dan secara populer kita kenal sebagai penyakit masyarakat itu merupakan fungsi struktural dan totalitas sistem sosial.
Dengan kata lain penyakit masyarakat yang demikian merupakan produk sampingan, atau merupakan konsekuensi yang tidak diharapkan dari system sosio-kultural zaman sekarang , dan berfungsi sebagai gejala tersendiri.Kongkretnya banyak anggota masyarakat yang apatis terhadap norma-norma yang ada dan berlaku dalam kehidupan sosial, salah satunya adalah dengan munculnya fenomena pelacuran yang semakin lama semakin menjamur. Fenomena pelacuran yang terjadi dalam masyarakat hampir menjadi habit dalam kehidupan sosial bermasyarakat yang berimplikasi pada munculnya eksploitasi seksual komersial khususnya terhadap perempuan dan anak. Problematika tentang pelacuran khususnya tentang eksploitasi seksual komersial anak (ESKA) merupakan persoalan yang sangat kompleks dan rawan, karena menyangkut tata kelakuan manusia yang immoral, berlawanan dengan hukum dan bersifat merusak tatanan nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat majemuk.
Masalah pelacuran disamping merupakan masalah yang kompleks dan rawan terutama di negara-negara sedang berkembang, dimana diperlukan penanganan secara lintas sektoral, terpadu, menyeluruh dan berkesinambungan, juga merupakan masalah yang masih perlu dikaji dari berbagai segi.
Krisis multidimensional yang dialami Negara Indonesia mengakibatkan keadaan ekonomi masyarakat semakin sulit, hal tersebut menjadi salah satu alasan untuk menghalalkan segala cara dengan dalih untuk mencari sesuap nasi, salah satunya adalah dengan jalan eksploitasi seksual komersial terhadap anak. Tetapi bukan kemiskinan saja yang menjadi salah satu faktor timbulnya eksploitasi seksual komersial anak. Kemiskinan akan menjadi suatu yang sangat parah, apabila akses pendidikan, kesehatan, atau kredit, misalnya tidak dimiliki oleh kelompok yang sangat membutuhkan.
MASALAH
1. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya eksploitasi seksual komersial anak (ESKA) di Kota Surakarta?
2. Bagaimanakah ketentuan hukum pidana Indonesia mengatur permasalahan eksploitasi seksual komersial anak (ESKA)?
3. Bagaimanakah kebijakan dan program spesifik Kota Surakarta yang diberlakukan guna menanggulangi permasalahan eksploitasi seksual komersial anak (ESKA) di Kota Surakarta?
4. Kendala-kendala apa yang dihadapi dalam menanggulangi permasalahan eksploitasi seksual komersial anak (ESKA) di Kota Surakarta?


TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya eksploitasi seksual komersial anak (ESKA) di Kota Surakarta.
2. Untuk menjelaskan ketentuan hukum pidana Indonesia yang mengatur mengenai permasalahan eksploitasi seksual komersial anak.
3. Untuk memaparkan kebijakan dan program spesifik Kota Surakarta yang diberlakukan guna menanggulangi permasalahan eksploitasi seksual komersial anak (ESKA) di Kota Surakarta.
4. Untuk mengungkapkan kendala-kendala yang dihadapi dalam menanggulangi permasalahan eksploitasi seksual komersial anak (ESKA) di Kota Surakarta.


SUMBER : WWW.GOOGLE.COM